Mustinya saya bergembira, ketika Minggu kemarin, 15 Maret 2009, saya bersama anak istri saya menyaksikan Pasar Malam di Lapangan Jendral Sudirman, Ambarawa, Kab. Semarang, Jawa Tengah. Betapa tidak, karena di sana banyak hiburan yg lain dari Pasar Malam sebelum-sebelumnya. Di antaranya seperti yg ada di photo-photo ini. Selama ini, hiburan seperti ini hanya bisa dijumpai di Kota Semarang, yg merupakan ibukota propinsi Jawa Tengah. Tetapi kali ini bisa dijumpai di Ambarawa, yg bisa dibilang kota kecil. Kalau Thukul "Empat Mata" Arwana mungkin bilang "Ndesa". Ya, harusnya saya gembira, di "Ndesa" saya sekarang bisa menyaksikan hiburan seperti layaknya "Orang Kota".
Tetapi kenyataannya, saya justru sedih. Kenapa? Coba Anda perhatikan photo paling atas. Di sana, di antara dua balon besar tempat anak-anak bermain itu, adalah patung Panglima Besar Jendral Sudirman yg ada di kejauhan. Sekitar 75 meter dari anak-anak itu bergembira ria, Jenderal Besar yang selama ini menjadi kebanggan kita itu sedang memberikan hormat. Entah kepada siapa, saya tidak tahu. Lantas apa yg membuat saya sedih?
Yang membuat saya sedih adalah perubahan atau pergeseran yg terjadi pada Tradisi Pasar Malam ini? Memangnya kenapa? Seharusnya saya bangga karena ada kemajuan ke arah sajian hiburan yg makin modern dalam tradisi pasar malam ini. Tetapi, yg membuat saya sedih, getir adalah bahwa kita menjadi obyek, bukan subyek. Obyek apa? Obyek produk-produk China dan obyek budaya atau tokoh-tokoh asing di televisi yang membanjiri arena pasar malam ini. Bisa dilihat di photo, tokoh siapa yg ada di bungkus makanan "Harum Manis" itu. Spongue Bob, Naruto, dsb bukan?
Dulu, waktu saya masih kecil, produk-produk yg dijual di pasar malam seperti ini adalah produk-2 dan budaya lokal yg dibuat juga oleh masyarakat lokal. Seperti wayang kulit, meskipun terbuat dari kertas. Gerabah. Dsb. Hiburannya juga wayang orang, Kethoprak, dsb. Tetapi dalam pasar malam kali ini barang-barang yg dijual sebagian besar adalah produk China. Mulai dari alat-2 rumah tangga, sampai pakaian dan mainan anak-2.
Ada memang orang yg menawarkan wayang kulit. Tetapi itupun dia tidak punya Stand sendiri. Dia menawarkan sambil jalan. Dan sepertinya juga tidak lagi dilirik orang. Jangankan anak-2, orang dewasa juga tidak ada yg peduli atau punya antusiasme untuk membeli. Saya sebenarnya ingin memotretnya, tetapi rasanya "tidak tega".
Ketika saya mencoba memperhatikan patung Jenderal Sudirman yg kelihatan gagah berani itu, saya jadi bertanya dalam hati: "Sebenarnya Jenderal sedang hormat pada siapa?" Mudah-mudahan tidak sedang hormat (atau tunduk?) pada produk China dan tokoh-tokoh kartun Jepang atau Amerika. Tidak, kan, Pak Dirman?
0 comments:
Post a Comment