Rasanya seperti mimpi melihat perubahan yg begitu besar dalam diri temanku. Dia yg dulunya begitu emosional, pemarah, bahkan kalau marah-marah kepada istrinya semua orang di sekitar rumah mendengar, kini dia menjadi orang yang sangat penyabar dan tidak pernah marah-marah lagi kepada istrinya.
Hebatnya lagi, entah ada kaitannya atau tidak, faktanya kini bisnis kelontongnya makin sukses. Semua itu tidak lepas dari “nasihat”-ku kepada temanku itu setelah aku sendiri berubah gara-gara membaca buku “The Quantum Happiness” karya Deepak Chopra dan Vikas Malkani.
Ceritanya begini.
Suatu pagi, ketika aku sedang bersih-bersih mobil, temanku mendatangiku. Setelah ngobrol ke sana-ke mari, sampailah pada suatu “episode” dimana dia menceritakan kenapa dia suka marah-marah pada istri, padahal sebenarnya dia malu juga, karena sampai didengar tetangga.
“Saya seringkali jengkel sama istri, Masalahnya, dalam banyak hal dia itu tidak sesuai dengan kehendakku”, kata temanku tadi (sebut saja Mr. X) dengan sangat serius.
“Misalnya, dalam masalah anak. Seringkali istriku itu menuruti kemauan anak. Terlalu longgar. Sementara saya tidak mau seperti itu, karena anak bisa jadi pemalas, hanya suka main, tidak mau belajar, dsb”, Mr. X menambahi dengan nada mulai meninggi..
“Kalau sudah begitu, biasanya saya marahi istri saya. Celakanya, istri saya juga tidak mau kalah. Jadinya terus ramai”, imbuhnya. “Tapi, istriku juga tidak kehilangan akal. Karena tahu kalau di pasar saya tidak mau marah-marah, maka kalau lagi di pasar dia berbuat semaunya. Misalnya, dia membeli barang yg seharusnya tidak perlu dibeli. Baru setelah sampai di rumah, aku marahi habis-habisan. Jadinya, ya, bertengkar lagi. Begitu terus. Berulang-ulang. Jadinya rumah saya seperti neraka!” imbuhnya bersemangat.
“Kalau sudah marah-marah, apakah masalah jadi selesai? Istri lalu menjadi penurut? Dan, apakah Bapak merasa puas, atau justru Bapak merasa kelelahan dan pikiran jadi kacau? Atau mungkin kesehatan menjadi terganggu, misalnya kepala menjadi pusing-pusing?” aku menanggapi.
“Ya, memang puas kalau sudah marah-marah, karena bisa mengeluarkan perasaan jengkel. Tetapi masalah memang tidak selesai. Istri juga makin jadi “pemberani”. Biasanya kepalaku terus jadi pusing, Pak” keluhnya.
“Mr. X”, kataku mencoba menasihati tanpa harus menjadi seperti seorang penasihat. Atau lebih tepatnya disebut sharin”. “Sebelumnya saya juga seperti Bapak ini. Bahkan mungkin lebih parah, sebab kalau lagi marah-marah saya kadang sambil memukul atau menendang daun pintu kamar”, kataku berusaha meyakinkan bahwa “kita senasib”.
“Tetapi kemudian semua berubah setelah saya....
SELENGKAPNYA Klik: http://hidupabadi.blogspot.com
2 comments:
waahhh jadi bahan renungan neeh,...moga aja bisa belajar saat dah berkeluarga nanti,..!!!
Syukurlah, kalo blog ini ada manfaatnya bagi orang lain. Thanks atas comment-nya
Post a Comment